Rabu, 18 Juni 2014

HUBUNGAN TINGKAT NYERI DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN POST OPERASI DI RUMAH SAKIT UMUM HERNA MEDAN



Oleh :
Ganda Sigalingging
Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Darma Agung, Medan
 Diterbitkan di Jurnal DARMA AGUNG HUSADA Vol.I/September/2013


ABSTRACT

The surgery process after operation will generate the respon of pain and worry. The patient post operate 42,2% of them experiencing of pain in medium level and 57,8% experiencing of dread. Nurse’s role are very important to overcome the patient’s dread so that the pain that appear can be minimized by doing the comprehensive Nursing Caring to avoid the pain and the dread. Overcoming pain problem need skilled of nurse. In giving treatment intervention, nurse focussed of degradation of pain and dread. This Research target to know the relation of pain between the dread of patient post operate. Research type used is analytic observation. Population in this research is the patient post operate for that is 45 people, and the sample is all of population become the sampel ( total sampling) that is 45 people.
Variable in this research is the level of pain and the dread. Collecting data done by using questioner and its result is analysed by using of the test of correlation of Spearman Rank. Result of research showed that most of the respondents  experiencing of medium pain that is 19 person ( 42,2%) and the respondent who got medium dread is 26 people ( 57,8%). Based on the test of Spearman Rank got             ρ = 0,000, ρ ≤ 0,05 and r  = 0,722 thus, there are positive correlation, meaning Ho refused. Conclusion from research result indicate that there is relation the pain between the dread of patient Post Operate. Suggested to the patient to do the self-supporting treatment by asking things of related to surgery process to nurse.

Keywords : Pain, Dread, Post Operate, Medan







































I.                   PENDAHULUAN
1
 
Pengalaman nyeri dipengaruhi oleh arti nyeri bagi seseorang, persepsi nyeri, toleransi nyeri, reaksi orang terhadap nyeri. Termasuk juga seks/jenis kelamin, latarbelakang sosiokultural, lingkungan, pengalaman sekarang dan sudah lalu. Orang berespon berbeda terhadap nyeri diantaranya ada yang disertai takut, gelisah cemas dan optimis. Kecemasan pada pasien post operasi perlu mendapatkan perhatian yang serius karena kecemasan akan meningkatkan pelepasan rennin, angeotensin, aldosteron dan kortisol yang mengakibatkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah sehingga mengurangi suplai pembuluh darah ke miokard. Kecemasan dapat merangsang melalui serangkaian aksi yang diperantarai oleh HPA-axis (Hipotalamus, pitiutari dan adrenal). Stress akan merangsang hipotalamus untuk meningkatkan produksi CRF (corticotrophin releasing factor). CRF ini selanjutnya akan merangsang pituitary anterior untuk meningkatkan produksi ACTH (Adeno Cortico Tropin Hormon). Hormon ini yang akan merangsang korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol. Kortisol inilah yang selanjutnya akan menekan sistem imun tubuh sehingga memperberat kondisi pasien. Nyeri ini akan mempengaruhi status kesehatan pasien secara keseluruhan. Dengan demikian maka akan menurunkan produktifitasnya dalam beraktivitas karena nyeri juga dapat mengganggu system pulmonary, kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin dan imunologik. Penyebab nyeri biasanya mudah dikenali akibat adanya injuri, penyakit atau pembedahan terhadap salah satu atau beberapa organ. Nyeri yang bermanifestasi sebagai rasa yang tidak enak (unpleasant sensation) bersumber dari kerusakan jaringan tubuh. Oleh karena itu, maka rasa nyeri sering dianggap sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh (defence mechanisme).
              Menurut Yulcono (2011) data dari WHO 2007 Amerika Serikat mengalisa data dari 35.539 pasien bedah dirawat di unit perawatan intensif antara 1 oktober 2003 dan 30 september 2006, dari 8.922 pasien, 2.473 pasien (7%) mengalami kecemasan
              Hubungan antara nyeri dan kecemasan sendiri bersifat kompleks. Kecemasan sering kali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan cemas. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan seseorang diantaranya karakteristik stimulus (Intensitas, lama, jumlah), karakteristik Individu (arti stimulus bagi induvidu, sumber stimulus dan respon koping, status kesehatan). Kecemasan dapat terjadi bila seseorang merasa terancam baik secara fisik maupun psikologi (seperti harga diri, gambaran diri, atau identitas diri). Manifestasi kecemasan yang terjadi tergantung pada kematangan pribadi, pemahaman dalam menghadapi ketegangan, harga diri, perasaan sakit/nyeri dan mekanisme koping (Long, 2000). Menurut penelitian yang dilakukan Eko Thn 2010 didapatkan dari bulan Januari s/d Desember 2009 tercatat sebanyak 362 pasien post operasi dengan rata – rata perbulannya sebanyak 30 orang. Data diambil di Rumah Sakit Umum daerah Sragen Wijaya.Menurut penelitian oleh Wahyu (2011) yang ingin mengetahui tingkat kecemasan pasien post operasi hasil yang diperoleh mengatakan dari 26 responden, 15 orang responden (57,7%) yang mengalami kecemasan.
              Berdasarkan hasil pengambilan data awal yang dilakukan dari 10 responden post operasi 50% mengalami cemas berat, 20% sedang dan 30% ringan.Dari 10 responden tersebut yang mengalami nyeri berat sebanyak 60%, nyeri sedang dan ringan masing-masing 20%. Hasil survei yang dilakukan peneliti bahwa dari bulan Maret 2012 terdapat pasien post operasi dengan rata – rata perbulan 45 orang. 
              Hasil observasi di Rumah Sakit Umum Herna, bahwa setiap orang yang menjalani tindakan operasi akan timbul rasa nyeri dan kecemasan pada dirinya, walaupun tingkat  kecemasan setiap orang berbeda-beda dalam menghadapinya.
              Peran perawat sangat penting dalam upaya penanggulangan kecemasan pasien agar nyeri yang timbul dapat menimalkan melalui asuhan keperawatan yang komprehensif secara biopsikososio spiritual. Perawat sebagai tenaga professional dan tenaga yang memiliki waktu lebih banyak dibandingkan tenaga kesehatan lainnya dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai untuk mengurangi perasaan cemas dan nyeri dalam dari pasien, sehingga kecemasan dan nyeri yang dialami pasien dapat dicegah atau dihindari. Disamping itu, pasien juga memegang peranan penting dalam mengantisipasi terhadap masalahnya. Pasien juga harus juga mengetahui segala aspek dari penyakit (terutama penatalaksanaan) dirumah pasca operasi. Penyuluhan terhadap pasien dan keluarga sama pentingnya.

II.                Tujuan Penelitian
              Untuk mengetahui adanya hubungan tingkat nyeri dengan tingkat kecemasan pada pasien post operasi di Rumah Sakit Umum Herna Medan.

III.             Manfaat Penelitian
1. Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan bagi pasien Post Operasi sehingga dapat mengantisipasi adanya rasa cemas dan rasa nyeri.
2. Bagi Rumah Sakit Umum Herna
    Medan
Sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien yang memperoleh perawatan di Rumah Sakit Umum Herna Medan, khususnya dalam upaya promotif sebagai tindak lanjut dalam rencana pemulangan pasien dan kelanjutan perawatan dirumah.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk memperkaya ilmu dalam  pengajaran di kampus .
Text Box: Faktor yang mempengaruhi
1. Lingkungan
2. Usia
3. Jenis Kelamin
4. Kelelahan
5. Pengalaman masa lalu
6. Kultur atau kebudayaan
IV.Kerangka Konsep


 





Gambar Kerangka Konsep Penelitian

V.                 HASIL DAN PEMBAHASAN
1)      Tingkat Nyeri Pasien Post Operasi di Rumah Sakit Umum Herna Medan
Berdasarkan hasil penelitian pada pasien post operasi di Rumah Sakit Umum Herna Mayoritas 42,2% mengalami nyeri sedang,dan minoritas4,4% nyeri tak tertahankan. Pada individu yang mengalami tingkat nyeri sedang akan merasakan rasa sakit yang terus menerus atau kadang–kadang timbul, tetapi masih dapat diabaikan/tidak mengganggu, LGS (Luas gerak sendi) Normal, pada penekanan kuat terasa sakit, fleksi dan ekstensi sakit. Sedangkan untuk yang terkecil didapatkan 4,4% yaitu pada tingkat nyeri yang tak tertahankan. Nyeri pada tingkat ini menyulitkan pasien hampir tak tertahankan dan gerakan fleksi/ekstensi hampir tidak ada/tidak mampu. Setiap individu yang mengalami nyeri berbeda dan mempunyai tingkatan tertentu bergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hal ini sesuai dengan pendapat (Long, 2001) yang mengemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi nyeri diantaranya adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan pengalaman masa lalu. Pengalaman nyeri itu sendiri dipengaruhi oleh arti nyeri bagi seseorang, persepsi nyeri, toleransi nyeri, reaksi orang terhadap nyeri. Orang berespon berbeda terhadap nyeri diantaranya ada yang disertai takut, gelisah, cemas dan optimis.
Banyak faktor mempengaruhi reaksi nyeri. Seseorang tidak akan dapat memperkirakan bagaimana orang memberi respon dan jangan percaya kepada interpretasi bagaimana pasien akan memberi respon. Sangat penting bagi seseorang memberi respon melalui cara yang sesuai dengan nilai sosiokultural. Ahmadi (2003). Apabila nyeri tersebut timbul dalam waktu yang singkat, reaksi saraf simpatis mungkin juga terjadi dalam waktu yang singkat. Apabila nyeri berlangsung lama, reaksi fisiologis akan beradaptasi misalnya menurunnya reaksi saraf simpatis. Perubahan kimia tubuh terhadap nyeri mempengaruhi perilaku seseorang. Orang – orang memberi respon yang berbeda terhadap nyeri. Diantaranya ada yang disertai takut, gelisah, cemas, sedang yang lain lagi penuh toleransi dan optimis. Sementara orang menangis, mengerang, dan menjerit-jerit, meminta dibebaskan atau pertolongan, mengancam merusak diri sendiri, gelisah di atas tempat tidur atau berjalan kian kemari tak tentu arah tujuan bila sangat nyeri, yang lain tidur di tempat tidur hanya menutup mata, menggigitkan geliginya, mengerutkan tangannya atau banyak keringat bila mengalami nyeri.
52
 
Dari hasil penelitian didapatkan data mengenai pengalaman masa lalu pada pasien post operasi di Rumah Sakit Umum Herna Medan. Dari data tersebut didapatkan sebesar 77,8% tidak pernah operasi dan 22,2% pernah operasi. Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.
Menurut asumsi penelitian, jika responden sejak lama sering mengalami nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka ansietas bahkan rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri, dengan jenis yang sama berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut dengan berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk menginterpretasikan sensasi nyeri. Long (2001) berpendapat bahwa pengalaman masa lalu seseorang terhadap rasa akan mengubah sikap klien.
Status perkawinan pada penelitian ini terdiri dari responden yang berstatus belum kawin 28,9%, berstatus kawin 57,8%, dan berstatus janda/duda sebanyak 13,3%. Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai klien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali nyeri yang dialami akan membuat klien semakin tertekan. Hal ini sesuai dengan pendapat (Long, 2001) yang mengemukakan bahwa dukungan orang lain dan kehadiran orang-orang tertentu sering meningkatkan kemampuan klien untuk meningkatkan pola koping terhadap tingkat nyeri, kehadiran istri dan anak atau keluarga akan mengurangi rasa nyeri, karena kehadiran keluarga secara tidak langsung mengalihkan rasa nyeri.
Reaksi fisiologis terhadap nyeri berbeda-beda sesuai dengan tingkat kecemasan yang menyertai rasa nyeri.Reaksi terhadap nyeri yang timbul secara tiba-tiba mengaktifkan system saraf simpatis dan manifestasi fisiologis yang muncul adalah peningkatan denyut nadi dan pernafasan, muka pucat dan dilatasi pupil.Apabila nyeri tersebut timbul dalam waktu yang singkat, reaksi saraf simpatis mungkin juga terjadi dalam waktu yang singkat. Apabila nyeri berlangsung lama, reaksi fisiologis akan beradaptasi misalnya menurunnya reaksi saraf simpatis. Perubahan kimia tubuh terhadap nyeri mempengaruhi perilaku seseorang. Orang – orang memberi respon yang berbeda terhadap nyeri. Diantaranya ada yang disertai takut, gelisah, cemas, sedang yang lain lagi penuh toleransi dan optimis. Sementara orang menangis, mengerang, dan menjerit-jerit, meminta dibebaskan atau pertolongan, mengancam merusak diri sendiri, gelisah di atas tempat tidur atau berjalan kian kemari tak tentu arah tujuan bila sangat nyeri, yang lain tidur di tempat tidur hanya menutup mata, menggigitkan geliginya, mengerutkan tangannya atau banyak keringat bila mengalami nyeri.
Sebagian orang dengan latihan dan contoh dapat dipelajari bagaimana menahan nyeri yang parah tanpa ada reaksi luar.Orang dari lingkungan budaya dimana penyuluhan kesehatan dan pencegahan penyakit diutamakan cenderung dapat menerima nyeri sebagai peringatan untuk minta pertolongan dan mengharapkan penyebab nyeri dapat ditemukan serta disembuhkan

2)      Tingkat Kecemasan Pasien Post Operasi di Rumah Sakit Umum Herna Medan
Berdasarkan hasil penelitian pada pasien post operasi di Rumah Sakit Umum Herna didapatkan mayoritas (57,8%) mengalami kecemasan sedang yaitu sebanyak 26 responden, dan minoritas          (8,9%) atau 4 responden mengalami kecemasan ringan.
Menurut Stuart & Sundeen (1995) Kecemasan merupakan respon emosional terhadap penilaian keadaan emosional yang tidak memiliki objek yang spesifik termasuk cemas. Dimana kecemasan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pendidikan, umur, jenis kelamin, dan pekerjaan. Sehingga pada pasien post operasi akan mengalami tingkat kecemasan yang berbeda.
Kecemasan adalah suatu gejala yang tidak menyenangkan, sensasi cemas, takut dan terkadang panic (Hinchliff, sue, 2002).
Menurut Hawari, (2011), penyebab rasa cemas dapat dikelompokan pula menjadi 3 faktor, yaitu :
1)    Faktor biologis atau fisiologis, berupa ancaman akan kekurangan makanan, minuman, perlindungan dan keamanan.
2)    Faktor psikososial, yaitu ancaman terhadap konsep diri, kehilangan orang atau benda yang dicintai, perubahan status sosial atau ekonomi.
3)    Faktor perkembangan, yaitu ancaman pada masa bayi, anak, remaja.
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecemasan pada seseorang. Pada penelitian ini, umur dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu ≤15-25 tahun sebesar 17,8%, usia 26-35 tahun sebesar 31,1%, pada usia 36-45 tahun didapatkan 35,6 tahun dan pada usia 46 - ≥55 tahun sebesar 15,6%. Hubungan usia dengan kecemasan yaitu pada orang yang lebih tua kemampuan untuk mengerti dan mengontrol kecemasan berkembang sesuai dengan perkembangan usianya. Rentang umur tersebut merupakan umur yang cukup matang baik secara fisik maupun segi psikologi didalam tanggung jawab merawat diri. Seperti pendapat (Long, 2001) mengemukakan bahwa semakin tua seseorang maka semakin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi terhadap tingkat kecemasan seseorang. Dalam usia yang cukup matang dari segi fisik, seorang diharapkan mempunyai status kesehatan yang optimal. Dari segi psikologi usia yang sudah matang diharapkan mampu menerima dan menyadari kondisinya yang harus dirawat dengan baik dan benar.
Dari segi pendidikan dibagi dalam 5 kelompok tingkat pendidikan yaitu berjumlah 22,2% responden tidak sekolah, 17,8% masing-masing untuk  tigkat pendidikan SD dan SMP, 31,1% responden berpendidikan SMA, dan sebesar 11,1% berpendidikan Diploma/Sarjana. Kaitan pendidikan dengan tingkat kecemasan yaitu pendidikan yang tinggi akan lebih mampu mengatasi dan menggunakan koping yang konstruktif dan efektif dari pada yang berpendidikan rendah.Kuncoroningrat dalam Nursalam (2001) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi dalam hal menerima informasi sehingga pengetahuan yang didapat akan semakin luas. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kecemasan pasien. Oleh karena responden pada penelitian ini berlatarbelakang pendidikan yang tidak sama maka pola koping dan respon cemas yang dirasakan dalam menghadapi stressor juga tidak sama.
Jenis kelamin responden pada penelitian ini terdiri dari 2 kelompok yaitu 62,2% responden berjenis kelamin laki-laki dan 37,8% responden berjenis kelamin perempuan. Foster (1986) jenis kelamin mempengaruhi toleransi terhadap kecemasan. Perempuan mempunyai kecemasan lebih tinggi dari pada laki-laki, dengan perbandingan 2 : 1.
Faktor jenis kelamin ini dalam hubungannya dengan faktor yang mempengaruhi nyeri adalah bahwasannya laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri.Masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang dilakukan Burn, dkk.(1989) dikutip dari Potter &Perry, 2005 mempelajari kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria.
  1. Pengalaman Masa Lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mengetahui ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat.Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya.Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti padda nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten. Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap pengalaman masa lalu pasien dengan nyeri.Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).
b.      Kelelahan
Kelelahan dapat meningkatkan nyeri karena banyak orang merasa lebih nyaman waktu istirahat.
3)      Hubungan Tingkat Nyeri dengan Tingkat Kecemasan Pasien Post Operasi di Rumah Sakit Umum Herna Medan
Berdasarkan hasil uji analisis diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat nyeri dengan kecemasandengan nilai ρ = 0,000< 0,05, hal ini memberi arti bahwa ada faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien. Misalnya :usia, lingkungan, ekonomi, pengalaman masa lalu.
Hasil uji statistik menggunakan uji korelasi spearman rank didapatkan korelasi Spearman rank, ρ = 0,000, sehingga ρ ≤ 0,05 dengan r  = 0,722 dengan demikian terdapat korelasi positif. Berarti Ho ditolak dan H1 diterima, yang berarti ada hubungan tingkat nyeri dengan tingkat kecemasan pada pasien post operasi di Rumah Sakit Umum Herna Medan.
Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap penolakan saat berhubungan dengan orang lain. Kecemasan ini juga dihubungkan dengan trauma pada masa pertumbuhan, seperti kehilangan dan perpisahan dengan orang yang dicintai. Penolakan terhadap eksistensi diri oleh orang lain atau masyarakat akan menyebabkan individu yang bersangkutan menjadi cemas. Namun, bila keberadaannya diterima oleh orang lain, maka ia akan merasa tenang dan tidak cemas. Kecemasan berkaitan dengan hubungan antara manusia.
Pada klien yang mengalami pembedahan akan menimbulkan respon nyeri. Nyeri merupakan alasan yang paling umum orang mencari perawatan kesehatan. Individu yang merasakan nyeri merasa tertekan atau menderita dan mencari upaya untuk menghilangkan nyeri, Antisipasi terhadap nyeri memungkinkan individu untuk belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkannya. Dengan instruksi dan dukungan yang adekuat, klien belajar untuk memahami nyeri dan mengontrol ansietas sebelum nyeri terjadi. Carpenito (2001) mengemukakan bahwa nyeri yang dirasakan oleh pasien yang mengalami pembedahan, bisa dari skala yang paling ringan hingga terberat. Kondisi ini dipengaruhi oleh bagaimana individu tersebut berespon terhadap nyeri, yang secara langsung berkaitan dengan kecemasan individu tentang nyeri yang dialaminya.Oleh karena itu,nyeri pasien harus diperhatikan karena akan mempengaruhi kecemasan pasien yang dialami. Hubungan antara nyeri dan kecemasan itu sendiri bersifat kompleks. Kecemasan sering kali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan cemas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan cemas (Gil, 1990). Sulit untuk memisahkan dua sensasi nyeri dan cemas. (Paice, 1991) melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan sistem limbik yang diyakini mengendalikan sistem emosi seseorang, khususnya cemas. Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.Nyeri yang tak kunjung hilang seringkali menyebabkan psikosis dan gangguan kepribadian.
            Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyu (2011) di Rumah Sakit Umum Daerah Sragen Wijaya diperoleh tingkat nyeri dengan tingkat kecemasan pada pasien post operasi yaitu 26 responden, 15 orang responden(57,7) yang mengalami kecemasan. Berdasarkan hasil pengambilan data awal yang dilakukan dari 10 responden post operasi 50% mengalami cemas berat, 20% sedang dan 30% ringan.Dari 10 responden tersebut yang mengalami nyeri berat sebanyak 60%, nyeri sedang dan ringan masing-masing 20%.
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. Pola koping.Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan.Secara terus-menerus klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri.Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis.Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri.Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien dan menurunkan nyeri klien.
a.       Support Keluarga dan Sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 1993).
b.      Kultur atau Kebudayaan
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Wolf, 1999) .Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji nyeri dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam menghilangkan nyeri pasien (Koentjaraningrat, Loiden, 1995)
c.     Lingkungan
Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsanggan dari lingkungan seperti kebisingan, cahaya yang sangat terang.
d.      Pengobatan
Pengobatan analgesik yang diberikan sesuai dosis yang mermakai akan mempercepat penurunan nyeri.
e.       Efek Plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar benar bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan efek positif.Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan keefektifan medikasi atau intervensi lainnya.Seringkali makin banyak petunjukyang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif intervensi tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek apapun. Hubungan pasien –perawat yang positif dapat juga menjadi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek plasebo (Barbara, 1997)
Menurut asumsi peneliti, Individu yang sehat secara emosional, biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri yang sedang hingga berat dari pada individu yang memiliki status emosional yang kurang stabil. Klien yang mengalami pembedahan, seringkali mengalami kesulitan mengotrol lingkungan dan perawatan diri yang dapat menimbulkan kecemasan yang tinggi. Kecemasan dapat terjadi bila seseorang merasa terancam baik secara fisik maupun psikologi (seperti harga diri, gambaran diri, atau identitas diri). Manifestasi kecemasan yang terjadi tergantung pada kematangan pribadi, pemahaman dalam menghadapi ketegangan, harga diri, perasaan sakit/nyeri dan mekanisme koping (Long, 2000).
Dengan adanya berbagai macam ancaman (stressor) yang datang kepada individu terhadap respon cemas, respon kecemasan dapat dikaji oleh perawat dengan cara menanyakan kepada klien bagaimana dia mendifinisikan kecemasannya dan beraksi terhadap kecemasan itu (secara subyektif).
Sebagai kompensasi terhadap kecemasan dapat dibagi dalam 4 katagori sesuai dengan tingkat keefektifannya dalam menurunkan kecemasan atau menghilangkan sumber kecemasan.
1)      Koping Adaptif
Menyelesaikan masalah penyebab kecemasan, sehingga kecemasan menurun, contoh : kecemasan dalam menghadapi keadaan operasi yang bermasalah bisa dikurangi dengan pemberian penjelasan atau konseling dari petugas yang adikuat sehingga klien mengerti terhadap keadaannya, mau memeriksakan penyakitnya dan berupaya memperoleh fasilitas rujukan yang terbaik untuk keselamatan dirinya.
2)      Koping Paliatif
Kecemasan turun sementara tetapi tidak menyelesaikan masalah, oleh karena itu kecemasan cenderung akan kembali seperti semula. Kepuasan sementara akan mengikuti seseorang untuk kembali pada  masalahnya dengan lebih obyektif, rasional  dan berenergi membuat penyelesaian masalah dan proses lebih mudah. Contoh: kecemasan dalam menghadapi operasi yang bermasalah dapat dihilangkan sementara dengan pemberian pengeritan atau konseling. Perujukan merupakan suatu upaya dari klien yang sehat.
3)      Koping Maladaptif
Usaha yang tidak berhasil akan menurunkan kecemasan tanpa berusaha menyelesaikan masalah. Tingkat kecemasan biasanya  dikurangi hanya cukup dengan memenuhi fungsi minimal produktifitas buruk, contoh : kecemasan dalam menghadapi permasalahan pada orang yang berindikasi terhadap operasi, dengan membiarkan klien tanpa diperiksa atau dirujuk ke fasilitas yang dapat menangani penyakit yang sedang dihadapi dan hanya periksa  pada tempat pelayanan yang tidak sesuai dengan bidangnya sehingga keselamatan klien sangat disangsikan.
4)      Koping Disfungsional
Adalah ketidakberhasilan dalam mereduksi kecemasan atau menyelesaikan masalah, fungsi minimal menjadi sulit dan masalah-masalah baru mulai berkembang, contoh : kecemasan dalam mengahadapi permasalahan operasi, dengan cara pergi ke dukun dan tidak perduli dengan keadaan penyakitnya, hal ini berakibat buruk bagi keselamatan klien.
Meskipun keefektifan adalah kriteria primer untuk mengevaluasi semua metode koping, penampilan juga perlu dipertimbangkan, kadang-kadang koping mengurangi kecemasan dan menyelesaikan masalah tetapi pada waktu yang sama  menciptakan masalah-masalah lain yang berarti  (Zimbardo phillip, 1991) dalam Struart and Sundeen, 1995, menurut Long dalam Nursalam dan Pariani (2001) menyatakan bahwa informasi merupakan fungsi untuk membantu mengurangi rasa cemas.
Periode post operasi merupakan suatu periode terjadinya peningkatan cemas bagi klien dan keluarganya, hal ini disebabkan karena klien umumnya tidak mengerti mengapa harus dilakukan tindakan operasi dan memerlukan penjelasan lebih lanjut yang dapat juga dilaksanakan oleh perawat (Scaffier, 2000). Dengan informasi yang jelas, benar dan dimengerti maka pada akhirnya akan menurunkan kecemasan klien yang menjalani pembedahan. Klien yang menerima informasi dengan benar selama tindakan pembedahan dan efek sampingnya lebih dapat melakukan perawatan mandiri (Keliat,1998).
Pengkajian pola koping dan system pendukung (sport system) yang meliputi keadaan psikologis, sosiokultural dan keagamaan (kultural) hal ini semua perlu dikaji, karena sudah jelas bahwa pembedahan akan mendatangkan stressor psikologis yang besar dan tentu akan mempengaruhi pola koping system sport dan sosio-kultural, baik operasi besar maupun operasi kecil, semua akan menyebabkan klien takut dan cemas, sehingga seorang perawat harus mampu dan berusaha mengeksplorasi ketakutan, kecemasan klien dan keluarga sehingga seorang perawat dapat menerapkan prosedur keparawatan dengan tepat sehingga dapat menurunkan ketakutan dan kecemasannya. Reaksi klien pada keadaan takut dan cemas setelah dilakukan operasi dapat berupa marah, apatis, berontak ataupun sering dengan mengajukan pertanyaan, dalam hal ini sangat diperlukan keterampilan komunikasi dan keterampilan hubungan antara perawat dengan klien dan keluarga.


VI.              KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Secara statistik terdapat hubungan antara tingkat nyeri dengan tingkat kecemasan pada pasien post operasi.Analisis tersebut menggunakan uji korelasi Spearman Rank dengan nilai ρ = 0,000, ρ≤ 0,05 dengan r = 0,722 dengan demikian terdapat korelasi positif di Rumah Sakit Umum HERNA Medan 
2.      Dalam penelitian ini tingkat kecemasan perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki di Rumah Sakit Umum Herna Medan


VII.           SARAN
Berdasarkan hasil penelitian disarankan:
1.       Rumah Sakit  sebagai sarana pelayanan kesehatan  yang berhadapan langsung dengan pasien dan keluarga  agar dapat menjalin komuniakasi yang baik sebelum pelaksanaan tindakan operasi dalam upaya menumbuhkan saling percaya antara tenaga kesehatan dan keluarga terutama pasien dalam mempersiapkan diri dan tenang menghadapi operasi
2.       Kepada petugas kesehatan di Rumah sakit untuk memberikan informasi yang jelas kepada keluarga pasien dan pasien terkait tindakan operasi sehingga meminimalkan rasa cemas pasien dan keluarga menjalani operasi
3.       Diharapkan pasien mampu memanajemen tingkat nyeri dengan tingkat keefektifannya dalam menurunkan kecemasan atau menghilangkan sumber kecemasan. Jika nyeri meningkat maka dapat menimbulkan meningkatnya kecemasan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2001. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta.

Ali Zaidin, 2002. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional Edisi I, Widya Medika: Jakarta.

Ahmadi, Abu, 2003, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rhineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian  suatu pendekatan Praktek, Jakarta, Rhineka Cipta.
Alimul, A, 2007, Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah, Salemba Medika, Jakarta.

Brunner & Sudarth ,2002. Manajemen nyeri. Edisi 1. EGC: Jakarta.
Brunner dan Suddart,2002,Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC.
Carpenito Lynda Juall, 2000, Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta
Carnegie, D, 2007. Mengatasi Rasa Cemas dan Depresi Guna Meraih Motivasi Kuat Dalam Memulai Hidup. Yogyakarta, Think.
Foster, George, 1986, Antropologi Kesehatan,UI Press, Jakarta
Kozier, Barbara, 1997,  Fundamental of Nursing, EGC, Jakarta
Hawari, D.2011. Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. Jakarta, FKUI
Junaidi, 1995, Pengantar Analisis Data, Jakarta, Rhineka Cipta
Keliat, Budi, Anna, 1998. Hubungan Terapeutik Perawat Klien. Jakarta. EGC
Koentjaraningrat san A.A.Loedin,1985, Ilmu-ilmu Sosial dalam Kesehatan, Gramedia, Jakarta
Lemeshow, S., Hosmer. Jr. and D.W. Lwanga. S.K.1997, Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan.Yogyakarta. UGM Press
Long, 2001 Fisiologis nyeri :Cipta, Jakarta
Maramis, Willy, 2002, Perilaku dalam Pelayanan Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta

Nursalam & Siti Pariani, 2001. Pendekatan Praktis Metodelogi, CV. Sagung Seto, Jakarta.
___________, 2002. Metodelogi Riset Keperawatan. CV. Sagung Seto, Jakarta.
Notoatmodjo, S.  (1997). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka  Cipta, Jakarta.
___________, (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka  Cipta.
___________, (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineke Cipta : Jakarta
Perry, Potter .2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan, EGC, Jakarta
Scaffier, 2000. Pencegahan Infeksi Dan Praktek Yang Aman. Jakarta: EGC.

Stuart, G.W & Sudeen S.J.1995. Pocket Guide to Psychiatric Nursing. Third Edition. St.louls: Mosby Year Book.

Sarwono, Solita, 2004, Sosiologi Kesehatan, Yogyakarta, Gajah Mada Universitas Press:

Santosa, Budi, Purbayu dan Ashari, 2005,  Analisis Statistik dengan Microsoft Excel dan SPSS, Yogyakarta: Andi
Sastroasmoro, Sudigdo, 2008, Dasar – Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta, Sagung Seto.
Sudarma, Momon, 2008, Sosiologi Kesehatan, Jakarta, Salemba Medika. 

Setiadi, 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan, Graha Ilmu, Yogyakarta
Stevens, P. J. M. (1999). Ilmu Keperawatan Jilid I. Jakarta : EGC.
___________,  (2000). Ilmu Keperawatan Jilid II. Jakarta : EGC.
Warter. R Wilson, 2001. Diagnosa and Treatment in Infeksius Disease. EGC: Jakarta
Wolf, Lu Verne et al. (1999). Dasar-dasar Ilmu Keperawatan. Jakarta : Gunung Agung.
Wong and Baker (1988). Skala wajah: Jakarta : EGC


1 komentar: