Oleh :
Ganda Sigalingging
Dosen
Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Darma Agung, Medan
Diterbitkan di Jurnal DARMA AGUNG HUSADA Vol.I/September/2013
ABSTRACT
The surgery
process
after operation will generate the respon of pain and
worry. The patient
post operate 42,2% of them experiencing
of pain in medium level
and 57,8% experiencing of dread. Nurse’s role are very important to overcome the
patient’s dread so that the pain that appear can be minimized by doing the comprehensive Nursing Caring to avoid
the pain and the dread. Overcoming pain problem need
skilled of nurse. In giving treatment intervention,
nurse focussed of degradation
of pain and dread. This Research target to know the relation of pain between the dread
of patient
post operate. Research
type used is analytic
observation. Population in this research is the patient post operate for that is 45 people,
and the sample is all
of population
become the sampel ( total sampling) that is 45 people.
Variable in this research
is the level
of pain and the dread. Collecting data done by using questioner and
its result is analysed by using of the test of correlation of Spearman Rank.
Result of research showed that most of the
respondents experiencing of medium pain that is 19 person ( 42,2%) and the respondent who got
medium dread is 26
people ( 57,8%). Based on the test of Spearman Rank got ρ =
0,000, ρ ≤ 0,05 and r = 0,722 thus, there are positive correlation, meaning Ho
refused. Conclusion from research result indicate that there is relation
the pain between
the dread of patient Post Operate. Suggested to the patient to do the
self-supporting treatment by asking things of related to surgery process to
nurse.
Keywords : Pain, Dread,
Post Operate, Medan
I.
PENDAHULUAN
|
Menurut
Yulcono (2011) data dari WHO 2007 Amerika Serikat mengalisa data dari 35.539
pasien bedah dirawat di unit perawatan intensif antara 1 oktober 2003 dan 30
september 2006, dari 8.922 pasien, 2.473 pasien (7%) mengalami kecemasan
Hubungan antara nyeri dan kecemasan sendiri bersifat
kompleks. Kecemasan sering kali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan cemas. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat
kecemasan seseorang diantaranya karakteristik stimulus (Intensitas, lama,
jumlah), karakteristik Individu (arti stimulus bagi induvidu, sumber stimulus
dan respon koping, status kesehatan). Kecemasan dapat terjadi bila seseorang
merasa terancam baik secara fisik maupun psikologi (seperti harga diri,
gambaran diri, atau identitas diri). Manifestasi kecemasan yang terjadi
tergantung pada kematangan pribadi, pemahaman dalam menghadapi ketegangan,
harga diri, perasaan sakit/nyeri dan mekanisme koping (Long, 2000). Menurut
penelitian yang dilakukan Eko Thn 2010 didapatkan
dari bulan Januari s/d Desember 2009 tercatat
sebanyak 362 pasien post operasi dengan rata – rata perbulannya sebanyak 30
orang. Data diambil di Rumah
Sakit Umum daerah Sragen Wijaya.Menurut penelitian oleh Wahyu (2011) yang ingin
mengetahui tingkat kecemasan pasien post operasi hasil yang diperoleh
mengatakan dari 26 responden, 15 orang responden (57,7%) yang mengalami
kecemasan.
Berdasarkan hasil pengambilan
data awal yang dilakukan dari 10 responden post operasi 50% mengalami cemas
berat, 20% sedang dan 30% ringan.Dari 10 responden tersebut yang mengalami
nyeri berat sebanyak 60%, nyeri sedang dan ringan masing-masing 20%. Hasil survei
yang dilakukan peneliti bahwa dari bulan Maret 2012 terdapat
pasien post operasi dengan rata – rata perbulan 45
orang.
Hasil
observasi di Rumah Sakit Umum Herna, bahwa setiap orang yang menjalani tindakan
operasi akan timbul rasa nyeri dan kecemasan pada dirinya, walaupun
tingkat kecemasan setiap orang
berbeda-beda dalam menghadapinya.
Peran perawat sangat penting dalam upaya penanggulangan
kecemasan pasien agar nyeri yang timbul dapat menimalkan melalui asuhan
keperawatan yang komprehensif secara biopsikososio spiritual. Perawat sebagai
tenaga professional dan tenaga yang memiliki waktu lebih banyak dibandingkan
tenaga kesehatan lainnya dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai untuk
mengurangi perasaan cemas dan nyeri dalam dari pasien, sehingga kecemasan dan
nyeri yang dialami pasien dapat dicegah atau dihindari. Disamping itu, pasien
juga memegang peranan penting dalam mengantisipasi terhadap masalahnya. Pasien
juga harus juga mengetahui segala aspek dari penyakit (terutama penatalaksanaan)
dirumah pasca operasi. Penyuluhan terhadap pasien dan keluarga sama pentingnya.
II.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui
adanya hubungan tingkat nyeri dengan tingkat kecemasan pada pasien post operasi
di Rumah Sakit Umum Herna Medan.
III.
Manfaat Penelitian
1. Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat
memberikan pengetahuan bagi pasien Post Operasi sehingga dapat mengantisipasi
adanya rasa cemas dan rasa nyeri.
2. Bagi Rumah Sakit Umum Herna
Medan
Sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pelayanan
terhadap pasien yang memperoleh perawatan di Rumah Sakit
Umum
Herna Medan, khususnya dalam upaya promotif sebagai tindak lanjut
dalam rencana pemulangan pasien dan kelanjutan perawatan dirumah.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
referensi untuk memperkaya ilmu dalam
pengajaran di kampus .
IV.Kerangka Konsep
Gambar Kerangka Konsep Penelitian
V.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
1)
Tingkat
Nyeri Pasien Post Operasi di Rumah Sakit Umum Herna Medan
Berdasarkan hasil penelitian pada pasien post
operasi di Rumah Sakit Umum Herna Mayoritas 42,2% mengalami nyeri sedang,dan minoritas4,4% nyeri tak tertahankan. Pada individu yang mengalami tingkat nyeri
sedang akan merasakan rasa sakit yang terus menerus atau kadang–kadang timbul,
tetapi masih dapat diabaikan/tidak mengganggu, LGS (Luas gerak sendi) Normal,
pada penekanan kuat terasa sakit, fleksi dan ekstensi sakit. Sedangkan untuk
yang terkecil didapatkan 4,4% yaitu pada tingkat nyeri yang tak tertahankan.
Nyeri pada tingkat ini menyulitkan pasien hampir tak tertahankan dan gerakan
fleksi/ekstensi hampir tidak ada/tidak mampu. Setiap individu yang mengalami
nyeri berbeda dan mempunyai tingkatan tertentu bergantung kepada faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Hal ini sesuai dengan pendapat (Long, 2001) yang
mengemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi nyeri diantaranya adalah
umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan pengalaman masa lalu.
Pengalaman nyeri itu sendiri dipengaruhi oleh arti nyeri bagi seseorang,
persepsi nyeri, toleransi nyeri, reaksi orang terhadap nyeri. Orang berespon
berbeda terhadap nyeri diantaranya ada yang disertai takut, gelisah, cemas dan
optimis.
Banyak faktor mempengaruhi reaksi nyeri.
Seseorang tidak akan dapat memperkirakan bagaimana orang memberi respon dan
jangan percaya kepada interpretasi bagaimana pasien akan memberi respon. Sangat
penting bagi seseorang memberi respon melalui cara yang sesuai dengan nilai
sosiokultural. Ahmadi
(2003).
Apabila nyeri tersebut timbul dalam waktu yang singkat, reaksi saraf simpatis
mungkin juga terjadi dalam waktu yang singkat. Apabila nyeri berlangsung lama,
reaksi fisiologis akan beradaptasi misalnya menurunnya reaksi saraf simpatis.
Perubahan kimia tubuh terhadap nyeri mempengaruhi perilaku seseorang. Orang –
orang memberi respon yang berbeda terhadap nyeri. Diantaranya ada yang disertai
takut, gelisah, cemas, sedang yang lain lagi penuh toleransi dan optimis.
Sementara orang menangis, mengerang, dan menjerit-jerit, meminta dibebaskan
atau pertolongan, mengancam merusak diri sendiri, gelisah di atas tempat tidur
atau berjalan kian kemari tak tentu arah tujuan bila sangat nyeri, yang lain tidur
di tempat tidur hanya menutup mata, menggigitkan geliginya, mengerutkan
tangannya atau banyak keringat bila mengalami nyeri.
|
Menurut asumsi
penelitian, jika responden sejak
lama sering mengalami nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang
berat, maka ansietas bahkan rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila
individu mengalami nyeri, dengan jenis yang sama berulang-ulang, tetapi
kemudian nyeri tersebut dengan berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi
individu tersebut untuk menginterpretasikan sensasi nyeri. Long (2001) berpendapat bahwa pengalaman masa
lalu seseorang terhadap rasa akan mengubah sikap klien.
Status perkawinan pada penelitian ini terdiri dari
responden yang berstatus belum kawin 28,9%, berstatus kawin 57,8%, dan
berstatus janda/duda sebanyak 13,3%. Individu yang mengalami nyeri seringkali
bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan,
bantuan, atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang
yang dicintai klien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada
keluarga atau teman, seringkali nyeri yang dialami akan membuat klien semakin
tertekan. Hal ini sesuai dengan pendapat (Long, 2001) yang mengemukakan bahwa
dukungan orang lain dan kehadiran orang-orang tertentu sering meningkatkan
kemampuan klien untuk meningkatkan pola koping terhadap tingkat nyeri, kehadiran
istri dan anak atau keluarga akan mengurangi rasa nyeri, karena kehadiran
keluarga secara tidak langsung mengalihkan rasa nyeri.
Reaksi fisiologis terhadap nyeri
berbeda-beda sesuai dengan tingkat kecemasan yang menyertai rasa nyeri.Reaksi
terhadap nyeri yang timbul secara tiba-tiba mengaktifkan system saraf simpatis
dan manifestasi fisiologis yang muncul adalah peningkatan denyut nadi dan
pernafasan, muka pucat dan dilatasi pupil.Apabila nyeri tersebut timbul dalam
waktu yang singkat, reaksi saraf simpatis mungkin juga terjadi dalam waktu yang
singkat. Apabila nyeri berlangsung lama, reaksi fisiologis akan beradaptasi
misalnya menurunnya reaksi saraf simpatis. Perubahan kimia tubuh terhadap nyeri
mempengaruhi perilaku seseorang. Orang – orang memberi respon yang berbeda
terhadap nyeri. Diantaranya ada yang disertai takut, gelisah, cemas, sedang
yang lain lagi penuh toleransi dan optimis. Sementara orang menangis,
mengerang, dan menjerit-jerit, meminta dibebaskan atau pertolongan, mengancam
merusak diri sendiri, gelisah di atas tempat tidur atau berjalan kian kemari
tak tentu arah tujuan bila sangat nyeri, yang lain tidur di tempat tidur hanya
menutup mata, menggigitkan geliginya, mengerutkan tangannya atau banyak
keringat bila mengalami nyeri.
Sebagian orang
dengan latihan dan contoh dapat dipelajari bagaimana menahan nyeri yang parah
tanpa ada reaksi luar.Orang dari lingkungan budaya dimana penyuluhan kesehatan
dan pencegahan penyakit diutamakan cenderung dapat menerima nyeri sebagai
peringatan untuk minta pertolongan dan mengharapkan penyebab nyeri dapat
ditemukan serta disembuhkan
2)
Tingkat
Kecemasan Pasien Post Operasi di Rumah Sakit Umum
Herna Medan
Berdasarkan hasil penelitian pada pasien post
operasi di Rumah Sakit Umum Herna didapatkan mayoritas (57,8%) mengalami kecemasan sedang yaitu sebanyak 26
responden, dan minoritas (8,9%) atau 4 responden mengalami
kecemasan ringan.
Menurut Stuart & Sundeen (1995) Kecemasan merupakan respon emosional terhadap
penilaian keadaan emosional yang tidak memiliki objek yang spesifik termasuk
cemas. Dimana kecemasan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
pendidikan, umur, jenis kelamin, dan pekerjaan. Sehingga pada pasien post
operasi akan mengalami tingkat kecemasan yang berbeda.
Kecemasan adalah suatu gejala yang tidak menyenangkan, sensasi cemas,
takut dan terkadang panic (Hinchliff, sue, 2002).
Menurut Hawari, (2011), penyebab
rasa cemas dapat dikelompokan pula menjadi 3 faktor, yaitu :
1) Faktor biologis atau fisiologis, berupa
ancaman akan kekurangan makanan, minuman, perlindungan dan keamanan.
2) Faktor psikososial, yaitu ancaman terhadap
konsep diri, kehilangan orang atau benda yang dicintai, perubahan status sosial
atau ekonomi.
3) Faktor perkembangan, yaitu ancaman pada masa
bayi, anak, remaja.
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kecemasan pada seseorang. Pada penelitian ini, umur dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu ≤15-25 tahun sebesar 17,8%, usia 26-35 tahun sebesar 31,1%, pada usia 36-45 tahun didapatkan 35,6
tahun dan pada usia 46 - ≥55 tahun sebesar 15,6%. Hubungan
usia dengan kecemasan yaitu pada
orang yang lebih tua kemampuan untuk mengerti dan mengontrol kecemasan
berkembang sesuai dengan perkembangan usianya. Rentang umur tersebut merupakan umur yang cukup
matang baik secara fisik maupun segi psikologi didalam tanggung jawab merawat
diri. Seperti pendapat (Long, 2001) mengemukakan bahwa
semakin tua seseorang maka semakin konstruktif dalam menggunakan koping
terhadap masalah yang dihadapi. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi
terhadap tingkat kecemasan seseorang. Dalam usia yang cukup matang dari segi
fisik, seorang diharapkan mempunyai status kesehatan yang optimal. Dari segi
psikologi usia yang sudah matang diharapkan mampu menerima dan menyadari
kondisinya yang harus dirawat dengan baik dan benar.
Dari segi pendidikan dibagi dalam 5 kelompok
tingkat pendidikan yaitu berjumlah 22,2% responden tidak sekolah, 17,8%
masing-masing untuk tigkat pendidikan SD
dan SMP, 31,1% responden berpendidikan SMA, dan sebesar 11,1% berpendidikan
Diploma/Sarjana. Kaitan pendidikan dengan tingkat kecemasan yaitu pendidikan yang tinggi akan lebih mampu mengatasi dan menggunakan
koping yang konstruktif dan efektif dari pada yang berpendidikan
rendah.Kuncoroningrat dalam Nursalam (2001) mengemukakan bahwa tingkat
pendidikan seseorang akan mempengaruhi dalam hal menerima informasi sehingga
pengetahuan yang didapat akan semakin luas. Hal ini akan mempengaruhi tingkat
kecemasan pasien. Oleh karena responden pada penelitian ini berlatarbelakang
pendidikan yang tidak sama maka pola koping dan respon cemas yang dirasakan
dalam menghadapi stressor juga tidak sama.
Jenis kelamin responden pada penelitian ini
terdiri dari 2 kelompok yaitu 62,2% responden berjenis kelamin laki-laki dan
37,8% responden berjenis kelamin perempuan. Foster (1986) jenis
kelamin mempengaruhi toleransi terhadap kecemasan. Perempuan mempunyai kecemasan lebih tinggi dari pada
laki-laki, dengan perbandingan 2 : 1.
Faktor jenis kelamin ini dalam hubungannya dengan faktor
yang mempengaruhi nyeri adalah bahwasannya laki-laki dan wanita tidak mempunyai
perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri.Masih
diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam
ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis
dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang
dilakukan Burn, dkk.(1989) dikutip dari Potter &Perry, 2005 mempelajari kebutuhan narkotik post operative pada wanita
lebih banyak dibandingkan dengan pria.
- Pengalaman Masa Lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri
dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah
mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung
pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.Seringkali
individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialaminya, makin takut
individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan.
Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin
nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini
hampir pasti terjadi jika individu tersebut mengetahui ketakutan dapat
meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat.Cara seseorang berespon
terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang
kehidupannya.Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak
terselesaikan, seperti padda nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten. Efek
yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya menunjukkan
pentingnya perawat untuk waspada terhadap pengalaman masa lalu pasien dengan
nyeri.Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat, individu mungkin lebih
sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu mentoleransi nyeri
dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).
b. Kelelahan
Kelelahan dapat meningkatkan nyeri karena
banyak orang merasa lebih nyaman waktu istirahat.
3)
Hubungan
Tingkat Nyeri dengan Tingkat Kecemasan Pasien Post Operasi di Rumah
Sakit Umum Herna Medan
Berdasarkan hasil uji analisis diketahui
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat nyeri dengan
kecemasandengan nilai ρ = 0,000< 0,05, hal ini memberi arti bahwa
ada faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien. Misalnya :usia,
lingkungan, ekonomi, pengalaman masa lalu.
Hasil uji statistik menggunakan uji korelasi spearman rank didapatkan korelasi Spearman rank, ρ = 0,000, sehingga ρ ≤
0,05 dengan r = 0,722 dengan demikian
terdapat korelasi positif. Berarti Ho ditolak dan H1 diterima, yang berarti ada
hubungan tingkat nyeri dengan tingkat kecemasan pada pasien post operasi di
Rumah Sakit Umum Herna Medan.
Kecemasan timbul dari perasaan takut
terhadap penolakan saat berhubungan dengan orang lain. Kecemasan ini juga
dihubungkan dengan trauma pada masa pertumbuhan, seperti kehilangan dan
perpisahan dengan orang yang dicintai. Penolakan terhadap eksistensi diri oleh
orang lain atau masyarakat akan menyebabkan individu yang bersangkutan menjadi
cemas. Namun, bila keberadaannya diterima oleh orang lain, maka ia akan merasa
tenang dan tidak cemas. Kecemasan berkaitan dengan hubungan antara
manusia.
Pada klien yang mengalami pembedahan akan
menimbulkan respon nyeri. Nyeri merupakan alasan yang paling umum orang mencari
perawatan kesehatan. Individu yang merasakan nyeri merasa tertekan atau
menderita dan mencari upaya untuk menghilangkan nyeri, Antisipasi terhadap nyeri
memungkinkan individu untuk belajar tentang nyeri dan upaya untuk
menghilangkannya. Dengan instruksi dan dukungan yang adekuat, klien belajar
untuk memahami nyeri dan mengontrol ansietas sebelum nyeri terjadi. Carpenito
(2001) mengemukakan bahwa nyeri yang dirasakan oleh pasien yang mengalami
pembedahan, bisa dari skala yang paling ringan hingga terberat. Kondisi ini
dipengaruhi oleh bagaimana individu tersebut berespon terhadap nyeri, yang
secara langsung berkaitan dengan kecemasan individu tentang nyeri yang
dialaminya.Oleh karena itu,nyeri pasien harus diperhatikan karena akan
mempengaruhi kecemasan pasien yang dialami. Hubungan antara nyeri dan kecemasan
itu sendiri bersifat kompleks. Kecemasan sering kali meningkatkan persepsi
nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan cemas. Pola bangkitan
otonom adalah sama dalam nyeri dan cemas (Gil, 1990). Sulit untuk memisahkan
dua sensasi nyeri dan cemas. (Paice, 1991) melaporkan suatu bukti bahwa
stimulus nyeri mengaktifkan sistem limbik yang diyakini mengendalikan sistem
emosi seseorang, khususnya cemas. Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi
terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.Nyeri yang tak
kunjung hilang seringkali menyebabkan psikosis dan gangguan kepribadian.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyu (2011) di Rumah
Sakit Umum Daerah Sragen Wijaya diperoleh tingkat nyeri dengan tingkat
kecemasan pada pasien post operasi yaitu 26 responden, 15 orang responden(57,7)
yang mengalami kecemasan. Berdasarkan hasil pengambilan data awal yang
dilakukan dari 10 responden post operasi 50% mengalami cemas berat, 20% sedang
dan 30% ringan.Dari 10 responden tersebut yang mengalami nyeri berat sebanyak
60%, nyeri sedang dan ringan masing-masing 20%.
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi
nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri. Pola koping.Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani
perawatan di rumah sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan.Secara
terus-menerus klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol
lingkungan termasuk nyeri.Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek
nyeri baik fisik maupun psikologis.Penting untuk mengerti sumber koping
individu selama nyeri.Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan
keluarga, latihan dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk
mensupport klien dan menurunkan nyeri klien.
a. Support Keluarga dan
Sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan
perlindungan.Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah
kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri
sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi.
Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin
bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak
dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 1993).
b. Kultur atau Kebudayaan
Orang belajar dari budayanya, bagaimana
seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah
menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka
melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.Keyakinan dan
nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka.
Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Wolf, 1999) .Mengenali
nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini
berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu untuk menghindari
mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang.
Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih
besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji nyeri dan
respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam menghilangkan nyeri
pasien (Koentjaraningrat, Loiden, 1995)
c.
Lingkungan
Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsanggan
dari lingkungan seperti kebisingan, cahaya yang sangat terang.
d. Pengobatan
Pengobatan analgesik yang diberikan sesuai
dosis yang mermakai akan mempercepat penurunan nyeri.
e. Efek Plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap
pengobatan atau tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut
benar benar bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan efek
positif.Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan
keefektifan medikasi atau intervensi lainnya.Seringkali makin banyak
petunjukyang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif
intervensi tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi
diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri
dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak
mempunyai efek apapun. Hubungan pasien –perawat yang positif dapat juga menjadi
peran yang amat penting dalam meningkatkan efek plasebo (Barbara, 1997)
Menurut asumsi
peneliti, Individu
yang sehat secara emosional, biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri yang
sedang hingga berat dari pada individu yang memiliki status emosional yang
kurang stabil. Klien yang mengalami pembedahan, seringkali mengalami kesulitan
mengotrol lingkungan dan perawatan diri yang dapat menimbulkan kecemasan yang
tinggi. Kecemasan dapat
terjadi bila seseorang merasa terancam baik secara fisik maupun psikologi
(seperti harga diri, gambaran diri, atau identitas diri). Manifestasi kecemasan
yang terjadi tergantung pada kematangan pribadi, pemahaman dalam menghadapi
ketegangan, harga diri, perasaan sakit/nyeri dan mekanisme koping (Long, 2000).
Dengan adanya berbagai macam ancaman (stressor) yang datang
kepada individu terhadap respon cemas, respon kecemasan dapat dikaji oleh
perawat dengan cara menanyakan kepada klien bagaimana dia mendifinisikan
kecemasannya dan beraksi terhadap kecemasan itu (secara subyektif).
Sebagai
kompensasi terhadap kecemasan dapat dibagi dalam 4 katagori sesuai dengan
tingkat keefektifannya dalam menurunkan kecemasan atau menghilangkan sumber
kecemasan.
1) Koping Adaptif
Menyelesaikan
masalah penyebab kecemasan, sehingga kecemasan menurun, contoh : kecemasan
dalam menghadapi keadaan operasi yang bermasalah bisa dikurangi dengan
pemberian penjelasan atau konseling dari petugas yang adikuat sehingga klien
mengerti terhadap keadaannya, mau memeriksakan penyakitnya dan berupaya
memperoleh fasilitas rujukan yang terbaik untuk keselamatan dirinya.
2)
Koping
Paliatif
Kecemasan turun
sementara tetapi tidak menyelesaikan masalah, oleh karena itu kecemasan
cenderung akan kembali seperti semula. Kepuasan sementara akan mengikuti
seseorang untuk kembali pada masalahnya
dengan lebih obyektif, rasional dan
berenergi membuat penyelesaian masalah dan proses lebih mudah. Contoh:
kecemasan dalam menghadapi operasi yang bermasalah dapat dihilangkan sementara
dengan pemberian pengeritan atau konseling. Perujukan merupakan suatu
upaya dari klien yang sehat.
3) Koping Maladaptif
Usaha yang tidak
berhasil akan menurunkan kecemasan tanpa berusaha menyelesaikan masalah.
Tingkat kecemasan biasanya dikurangi
hanya cukup dengan memenuhi fungsi minimal produktifitas buruk, contoh :
kecemasan dalam menghadapi permasalahan pada orang yang berindikasi terhadap
operasi, dengan membiarkan klien tanpa diperiksa atau dirujuk ke fasilitas yang
dapat menangani penyakit yang sedang dihadapi dan hanya periksa pada tempat pelayanan yang tidak sesuai
dengan bidangnya sehingga keselamatan klien sangat disangsikan.
4) Koping Disfungsional
Adalah
ketidakberhasilan dalam mereduksi kecemasan atau menyelesaikan masalah, fungsi
minimal menjadi sulit dan masalah-masalah baru mulai berkembang, contoh :
kecemasan dalam mengahadapi permasalahan operasi, dengan cara pergi ke dukun
dan tidak perduli dengan keadaan penyakitnya, hal ini berakibat buruk bagi
keselamatan klien.
Meskipun
keefektifan adalah kriteria primer untuk mengevaluasi semua metode koping,
penampilan juga perlu dipertimbangkan, kadang-kadang koping mengurangi
kecemasan dan menyelesaikan masalah tetapi pada waktu yang sama menciptakan masalah-masalah lain yang berarti (Zimbardo phillip, 1991) dalam Struart and
Sundeen, 1995, menurut Long dalam Nursalam dan Pariani (2001) menyatakan bahwa
informasi merupakan fungsi untuk membantu mengurangi rasa cemas.
Periode post
operasi merupakan suatu periode terjadinya peningkatan cemas bagi klien dan
keluarganya, hal ini disebabkan karena klien umumnya tidak mengerti mengapa
harus dilakukan tindakan operasi dan memerlukan penjelasan lebih lanjut yang
dapat juga dilaksanakan oleh perawat (Scaffier, 2000). Dengan informasi yang jelas, benar dan dimengerti
maka pada akhirnya akan menurunkan kecemasan klien yang menjalani pembedahan.
Klien yang menerima informasi dengan benar selama tindakan pembedahan dan efek
sampingnya lebih dapat melakukan perawatan mandiri (Keliat,1998).
Pengkajian pola koping dan system pendukung (sport system) yang meliputi keadaan
psikologis, sosiokultural dan keagamaan (kultural) hal ini semua perlu dikaji,
karena sudah jelas bahwa pembedahan akan mendatangkan stressor psikologis yang
besar dan tentu akan mempengaruhi pola koping system sport dan sosio-kultural,
baik operasi besar maupun operasi kecil, semua akan menyebabkan klien takut dan
cemas, sehingga seorang perawat harus mampu dan berusaha mengeksplorasi
ketakutan, kecemasan klien dan keluarga sehingga seorang perawat dapat
menerapkan prosedur keparawatan dengan tepat sehingga dapat menurunkan
ketakutan dan kecemasannya. Reaksi klien pada keadaan takut dan cemas setelah
dilakukan operasi dapat berupa marah, apatis, berontak ataupun sering dengan
mengajukan pertanyaan, dalam hal ini sangat diperlukan keterampilan komunikasi
dan keterampilan hubungan antara perawat dengan klien dan keluarga.
VI.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Secara statistik terdapat hubungan antara
tingkat nyeri dengan tingkat kecemasan pada pasien post operasi.Analisis
tersebut menggunakan uji korelasi Spearman
Rank dengan nilai ρ = 0,000, ρ≤
0,05 dengan r = 0,722 dengan demikian terdapat korelasi positif di Rumah Sakit
Umum HERNA Medan
2.
Dalam penelitian
ini tingkat kecemasan perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki di
Rumah Sakit Umum Herna Medan
VII.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian disarankan:
1.
Rumah Sakit sebagai sarana pelayanan
kesehatan yang berhadapan langsung
dengan pasien dan keluarga agar dapat menjalin
komuniakasi yang baik sebelum pelaksanaan tindakan operasi dalam upaya
menumbuhkan saling percaya antara tenaga kesehatan dan keluarga terutama pasien
dalam mempersiapkan diri dan tenang menghadapi operasi
2.
Kepada petugas kesehatan di Rumah sakit untuk memberikan informasi yang
jelas kepada keluarga pasien dan pasien terkait tindakan operasi sehingga
meminimalkan rasa cemas pasien dan keluarga menjalani operasi
3.
Diharapkan
pasien mampu memanajemen tingkat nyeri dengan tingkat keefektifannya dalam menurunkan
kecemasan atau menghilangkan sumber kecemasan.
Jika nyeri meningkat maka dapat menimbulkan meningkatnya
kecemasan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2001. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta.
Ali Zaidin, 2002. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional
Edisi I, Widya Medika: Jakarta.
Ahmadi, Abu, 2003, Ilmu Sosial
Dasar, Jakarta: Rhineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur
Penelitian suatu pendekatan Praktek,
Jakarta, Rhineka Cipta.
Alimul, A, 2007, Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah,
Salemba Medika, Jakarta.
Brunner & Sudarth
,2002. Manajemen nyeri. Edisi
1. EGC: Jakarta.
Brunner dan Suddart,2002,Keperawatan
Medikal Bedah, Jakarta, EGC.
Carpenito Lynda Juall, 2000, Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta
Carnegie, D, 2007. Mengatasi
Rasa Cemas dan Depresi Guna Meraih Motivasi Kuat Dalam Memulai Hidup.
Yogyakarta, Think.
Foster, George, 1986, Antropologi Kesehatan,UI Press, Jakarta
Kozier, Barbara, 1997, Fundamental of Nursing, EGC, Jakarta
Hawari, D.2011. Manajemen
Stress, Cemas dan Depresi. Jakarta, FKUI
Junaidi, 1995, Pengantar Analisis
Data, Jakarta, Rhineka Cipta
Keliat, Budi, Anna, 1998. Hubungan
Terapeutik Perawat Klien. Jakarta. EGC
Koentjaraningrat san A.A.Loedin,1985, Ilmu-ilmu Sosial dalam Kesehatan,
Gramedia, Jakarta
Lemeshow, S., Hosmer. Jr. and D.W. Lwanga. S.K.1997, Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan.Yogyakarta.
UGM Press
Long, 2001 Fisiologis nyeri
:Cipta, Jakarta
Maramis, Willy, 2002, Perilaku
dalam Pelayanan Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta
Nursalam & Siti
Pariani, 2001. Pendekatan Praktis
Metodelogi, CV. Sagung Seto, Jakarta.
___________, 2002. Metodelogi Riset Keperawatan. CV. Sagung
Seto, Jakarta.
Notoatmodjo, S. (1997). Ilmu
Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta, Jakarta.
___________, (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta :
Rineka Cipta.
___________, (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineke
Cipta : Jakarta
Perry, Potter .2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan, EGC, Jakarta
Scaffier, 2000. Pencegahan Infeksi
Dan Praktek Yang Aman. Jakarta: EGC.
Stuart, G.W & Sudeen S.J.1995. Pocket
Guide to Psychiatric Nursing. Third Edition. St.louls: Mosby Year Book.
Sarwono, Solita, 2004, Sosiologi
Kesehatan, Yogyakarta, Gajah Mada Universitas Press:
Santosa, Budi, Purbayu dan Ashari, 2005, Analisis
Statistik dengan Microsoft Excel dan SPSS, Yogyakarta: Andi
Sastroasmoro, Sudigdo, 2008, Dasar
– Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta, Sagung Seto.
Sudarma, Momon, 2008, Sosiologi
Kesehatan, Jakarta, Salemba Medika.
Setiadi, 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan, Graha Ilmu,
Yogyakarta
Stevens, P. J. M. (1999). Ilmu
Keperawatan Jilid I. Jakarta : EGC.
___________, (2000). Ilmu
Keperawatan Jilid II. Jakarta :
EGC.
Warter. R Wilson, 2001. Diagnosa
and Treatment in Infeksius Disease. EGC: Jakarta
Wolf, Lu Verne et al.
(1999). Dasar-dasar Ilmu Keperawatan. Jakarta : Gunung Agung.
Wong and Baker (1988). Skala
wajah: Jakarta : EGC
sudara minta maaf, bisa cantumkan kuisioner nya..
BalasHapus